Cerita Sedih Kisah Memilukan Seorang Istri - Brikut ini kami akan berbagi sebuah cerita sedih tentang penderitaan seorang istri yang menjalani hidup dengan penyakit yang menggerogotinya, dan untuk lebih jelasnya kita simak saja Cerita Sedih Kisah Memilukan Seorang Istri berikut ini :
![]() |
| Cerita Sedih Kisah Memilukan Seorang Istri |
Mendadak HP ku berdering, sesudah menjawab salam nada diseberang telephone terlihat cemas “Ayah.. bunda mimisan nich. ” Hmm.. kumaklumi kepanikan istriku waktu itu lantaran belum pernah dia alami mimisan seperti ini.
Memanglah cuaca di bln. Agustus 2014 siang itu demikian teriknya. Saya pikir ini disebabkan cuaca yang terik itu. Lalu saya anjurkan dia untuk selekasnya ke dokter.
Sekian hari lalu istriku sakit pilek. Seperti umumnya bila sakit ia cuma minum obat warung serta tidak sering sekali ingin kontrol ke dokter. “ oalah bunda…. ke dokter ajah kok takut, ” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya dengan ujung jari, ia merajuk bibirnya maju 2 centi, lucu melihatnya seperti itu.
Dua minggu berselang namun pileknya belum juga hilang. Jadi tuturnya ada yang merasa menyumbat di saluran hidungnya, terasa tidak nyaman serta sulit bernafas. “Bun… besok kita ke Rumah Sakit ya! agar bapak ijin masuk siang, ” rayuku supaya ia ingin ke Rumah sakit.
Esok harinya saya ajak ia ke RS. Bhakti Yudha Depok. Waktu itu dokter THT katakan istriku alergi pada debu serta bulu-bulu binatang. Namun hingga obatnya habis pileknya belum juga ada sinyal tanda kesembuhan.
Anehnya yang kerap keluar lendir cuma hidung samping kiri saja. Bahkan juga istriku mulai sulit bernafas lewat hidung, ia cuma dapat bernafas lewat mulut. Serta saat saya membawanya check untuk ke-2 kalinya dokter merekomendasikan untuk rontgen. Tetapi dari hasil rontgen tak tampak ada kelainan apa pun di hidung istriku.
Tanggal 3 Nov 2014...
Saya mengajaknya kontrol ke RS Proklamasi Jakarta, lantaran menurut info disini peralatanya lebih komplit. Nyatanya benar, dengan alat penyedot dokter keluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Suka terasa lihat ia bisa bernafas dengan lega. “Alhamdulillah….. ”
Sekian hari lalu sumbatan itu kembali nampak. “Duh.. bunda! ” Kontrol ke-2 ke RS. Proklamasi masih tetap saja dokter belum dapat mengemukakan penyakit apa yang dihadapi istriku ini.
Dokter memasukkan kapas basah ke hidung istriku (nyatanya itu yaitu bius lokal), sebagian waktu lalu suatu gunting kecil dimasukkan kedalam hidung serta.. “krek” potongan daging kecil di ambil. Terakhir baru saya tau aksi inilah yang diberi nama biopsi. Tidak ada yang di sampaikan pada kami. Dokter merekomendasikan dikerjakan CT Scan. Lalu kami menuju ke RSCM untuk CT Scan.
Esok harinya hasil CT Scan saya bawa kembali pada Dokter RS Proklamasi. Sesudah lihat hasil Scan, Dokterpun mengemukakan akhirnya serta hasil biopsi dari laboratorium.
“ini ibu positif, ” kata dokter sembari tunjukkan photo CT Scan. Terlihat ada suatu massa di antara belakang hidung serta tenggorokan istriku. Cukup besar seukuran kepalan tangan. Saya masih tetap belum tahu maksud kalimat nya serta memanglah sekalipun tidak ada pikiran yang aneh saya cobalah ajukan pertanyaan, “maksudnya apa dok? ”
“ibu positif kanker! ”
Dek.. seakan detak jantungku berhenti “KANKER…Dok? ” Mendadak mataku jadi gelap, suatu beban berat terasanya menindih tubuhku. Saya diam serta tidak dapat berkata apa-apa, lama saya terdiam.
“Kanker..? ” tanyaku, namun kalimat itu tidak dapat terucap cuma bersarang di kepalaku. Suatu penyakit yang sampai kini cuma saya kenal melalui info serta berita-berita, saat ini penyakit itupun hampiri orang paling dekatku orang yang paling saya sayangi. Penyakit yang menakutkan itu menyerang istriku.
Kutatap muka cantik istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang.. teduh… tidak ada ekspresi apa-apa saya semakin bingung.
“duhh…bunda apa yang ada pada fikiranmu bunda…”
“Sekarang ayah ke RSCM ke sisi Radiologi kita mesti melakukan tindakan cepat, ” mendadak saya tersadar. Selekasnya kuambil surat pengantar dokter serta menuju RSCM.
Sungguh tidak pernah terpikirkan sedikitpun pada awal mulanya, saat ini kami ada dalam jejeran beberapa orang pasien kanker di ruangan tunggulah spesialis Radiologi ini. Aroma kekhawatiran bahkan juga keputus asaan tergambar di muka mereka. Sesungguhnya ini dapat saya rasakan, namun saya mesti menyembunyikan raut ini dihadapan istriku. Saya mesti terus menyuguhkan daya penyemangat padanya.
Di hadapan dokter Radiologi saya ajukan pertanyaan, “sebenarnya istriku terkena kanker apa dok? ”
“kanker nasofaring. ” jawab dokter singkat.
Ya Allah…. kanker apa lagi ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Mengapa mesti istriku yang merasakannya?
“Tapi Insya Allah masih tetap dapat sembuh dengan penyembuhan cahaya radiasi serta kemoterapy, ” dokter coba menangkap kebimbangan diwajahku.
“Nanti ibu mesti melakukan penyembuhan radiasi sepanjang 25 kali. ”
Terbayang beratnya derita serta kelelahan yang perlu dihadapi istriku. Belum lagi dengan gabungan penyembuhan kemoterapy yang melemahkan fisik.
Keluar dari ruangan radiologi seakan seluruhnya jadi gelap, terasa saya tidak kuat menahan semua beban ini. Selekasnya saya sms family serta rekan-rekan dekatku, saya kabarkan situasi istriku serta kumintakan do’a dari mereka. Tidak merasa bulir-bulir bening air mata bermunculan disudut mataku.
“Ayah mengapa? nangis yach..? ” dengan polos pertanyaan itu keluar dari bibir istriku.
“iya, bapak sayaaang…. sama bunda, ” suaraku gemetar.
Ku usap lembut kepala istriku. Ku tepis perlahan-lahan tangannya yang coba menyeka air mataku, ku gengggam kuat jari-jari lemahnya. Hatiku berbisik “kenapa tidak ada rasa sedih diwajahmu bunda? apakah bunda gak tau penyakit ini demikian beresiko? Atau Allah sudah memberitahukan ini seluruhnya kepadamu? ”
“Bunda umum ajah koq.. ” Jawabanya jadi semakin membuatku tidak dapat bernafas, air mataku pada akhirnya jatuh juga.
Kususuri lorong-lorong RSCM dengan langkah lemas tidak bertenaga seakan saya melayang, tulang-tulang merasa tidak dapat menyokong tubuhku yang kecil ini.
Tanggal 5 Desember 2014...
Mulai hari itu istriku mesti dirawat inap di RS. Proklamasi. Seluruhnya persiapanpun dikerjakan dari mulai USG, Bond Scan dan lain-lain. Akhirnya rahim masih tetap bersih serta tulangpun normal berarti kankernya belum mejalar ke sisi lain, Alhamdulillah…sempat kuucap kata sukur itu.
Tanggal 8 Desember 2014...
Hari keempat. Sore itu saya di panggil ke ruangan Dokter Sugiono yang bakal lakukan Kemoterapy. Disebutkan bahwa kanker istriku stadium 2A serta Insya Allah masih tetap dapat diobati. Istrikupun siap untuk melakukan penyembuhan dengan kemoterapy. Lalu kami minta ijin ke Dokter untuk diijinkan pulang sembari menyiapkan semua sesuatunya.
Malam hari saat kami dirumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga perihal penyembuhan yang bakal kami kerjakan. Dengan beragam pertimbangan serta argumen pihak keluarga merekomendasikan supaya kami tak meniti jalan kemo serta radiasi. Kami dianjurkan untuk melakukan penyembuhan lewat cara alternatif serta penyembuhan herbal.
Pada akhirnya mulai sejak waktu itu kami lakukan ikhtiar pegobatan lewat cara alternatif serta minum obat-obat herbal. Lantaran waktu itu istriku telah sulit untuk menelan jadi obat herbal yang didapatkan tak berbentuk kapsul, tetapi berbentuk rebusan. Sehari-hari istriku mesti minum ramuan serta rebusan obat-obat herbal yang baunya sangatlah menyengat. Namun saya saksikan ia dengan telaten serta sabar teratur minum seluruhnya obat-obatan itu.
Semangatnya untuk sembuh demikian besar. Doa juga tidak ada henti kupanjatkan siang serta malam. Serta malam-malamku senantiasa ku butuhkan dengan tahajud serta hajat.
Saya mulai rajin mencari seluruhnya info yang terkait dengan kanker nasofaring, dari mulai makanan, langkah penyembuhan, bahkan juga alamat klinik penyembuhan alternatif. Seluruhnya info saya mencari lewat internet, koran serta dari rekan-rekan kerja.
Tiga bln. penyembuhan, namun Allah kelihatannya belum berikan jalan kesembuhan dengan langkah tersebut, pada akhirnya obat herbal saya tinggalkan. Bahkan juga penyembuhan alternatif telah saya tinggalkan mulai sejak 1 bln. pertama lantaran saya sangsi. Sebagian keluarga istri mulai putus harapan. Jadi ada yang berasumsi penyakit ini yaitu kiriman dari orang. Namun saya bantah seluruhnya, pernah ada pertentangan diantara kami. Saya optimis istriku bahwa ini yaitu memanglah ujian dari Allah,
“Bun.. seluruhnya atas kehendak Allah, bahkan juga jauh saat sebelum kita lahir telah tercatat takdir ini, umur segini bunda sakit, berobat ke sini-sini itu sudah ada semua.semua telah tersedia dalam catatan Allah bun. Yang utama saat ini kita janganlah capek berihtiar serta bunda tetep mesti semangat untuk sembuh. ” Ia mengangguk perlahan-lahan.
Berat tubuh istriku mulai turun mencolok lantaran tidak ada konsumsi makanan, saat sebelum sakit beratnya 53 Kg saat ini tinggal 36 Kg. Kondisinya semakin kronis serta puncaknya saat saya saksikan mata kirinya telah tidak focus. Langkah ia lihat seperti orang juling. Menurut Dokter herbal yang mengatasi istriku inilah rangkaian perjalanan kanker itu yang lama kelamaan bakal menyerang otak. Dokter menyarankan untuk selekasnya dibawa ke rumah sakit.
Tanggal 26 Maret 2015...
Pada akhirnya saya kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kesempatan ini saya membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku diakukan oleh team yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis serta Dokter spesialis pakar kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono pakar kemoterapy yang dahulu menjaga istriku di RS. Proklamasi juga praktik disini. Serta saat ini Dokter sugiyono kembali mengatasi istriku.
Sore itu Dokter memanggilku ke ruangnya. Dokter menuturkan stadium kanker istriku telah jadi 4C, serta kankernya telah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak. Lihat hasil CT Scan nya saya merinding, tampak terang tulang-tulang tengkorak itu keropos seperti daun termakan ulat. Saya mau menjerit, “Ya Allah… demikian berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan bapak bun, bapak tidak dapat melindungi bunda…! ”
Yang lebih mencengangkan saat dokter menyampaikan, “kita cuma dapat memperlambat perkembangan kankernya bukanlah menyembuhkan. ” Seakan hitungan mundur kematian itu diawali. Saya limbung serta nyaris taksadarkan diri, sekuat tenaga saya berusaha untuk terus tegar. Dengan dipapah adik saya keluar dari ruangan dokter.
Selekasnya saya menuju Mushola kuambil air wudhu serta kujalankan sholat. Tak tahu sholat apa yang kujalankan ini.
“Aku mau ketenangan saya perlu pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan semua permintaan ini di hadapanMu yaa Allah. Mungkin dokter memfonis dengan analisanya, namun Engkaulah yang maha kuasa atas semua sesuatunya. Engkau maha menggenggam seluruhnya takdir, sakit ini dariMu ya Allah serta padaMU juga saya mohon obat serta kesembuhannya. ”
Semua ikhtiar serta do’a tidak ada capek kulakukan tuk kesembuhan istriku. Malam-malamku kulalui dengan sujud panjang disamping bangsal rumah sakit. Kubenamkan wajahku di atas sajadah lebih dalam lagi, mendadak saya terasa tidak mimiliki kemampuan apa pun, saya ada dalam kepasrahan serta penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha tahu, begitu semua ihtiar sudah kami kerjakan. Tidak ada menyerah kami melawan penyakit ini, saat ini saya serahkan semuanya padaMu, tak ada kemampuan yang mampu menaklukkan kekuatannMu yaa…Robb, Perlihatkan pertolonganMu, beri kesembuhan pada istriku Ya.. Allah. ”
Waktu itu istriku masih tetap dapat bicara walau dengan nada kurang terang. Lantaran tenggorokannya juga telah menyempit tersumbat kanker, ia sangatlah kesusahan dalam bernafas. Untuk menghadapi supaya tak tersumbat saluran nafasnya, dokter merekomendasikan supaya dipasang ventilator dileher istriku. Akupun menyepakatinya walau saya tidak tega, namun ini kemungkinan paling kecil yang dapat di ambil.
Istriku pasrah, dia minta saya temaninya ke ruangan operasi. Saya sangatlah tahu ia sangatlah takut dengan peralatan medis di ruangan operasi. Lalu saya mendampinginya kedalam ruangan operasi untuk pemasangan Ventilator. Saya lihat dengan terang leher istriku disayat lalu dimasukkan alat bantu pernafasan itu. “Sebenarnya saya tidak tega melihatmu seperti ini bunda, namun inilah yang paling baik untukmu sekarang ini. ”
Usai pemasangan ventilator bicaranya telah tidak bertemura lagi. Mulai sejak waktu itu praktis komunikasi kami cuma dengan isyarat atau kadang-kadang istriku menulisnya pada lembar-lembar catatan kecil yang berniat saya siapkan. Sudah pasti hal semacam ini merasa lelah baginya. Tetapi sekali lagi ia tampak tegar tidak pernah saya mendengar ia mengeluh.
Pada akhirnya dengan beragam pertimbangan akupun menyepakati untuk dikerjakan kemoterapy pada istriku
Tanggal 6 April 2015...
Kurang lebih jam 12 siang kemo step pertama dikerjakan. Dengan perasaan tidak menentu saya lihat dokter mengolah obat dengan perlengkapan pengaman yang komplit. Lantaran menurut dokter obat ini memanglah keras.
“Ya Allah beri kemampuan pada istriku…! ” Beri kesembuhan lewat ihtiar obat ini ya Allah..! ”
Selama sistem penyembuhan tidak hentinya kupanjatkan do’a serta dzikir dibantu dengan sebagian anggota keluarga.
Menurut Dokter kemo ini dikerjakan dalam 3 hingga 5 step. Satu bagian kemo mengonsumsi saat 5 hari lalu jeda 3 minggu untuk dilanjutkan ke step selanjutnya.
Hari ke-2 sesudah kemo lebih kurang jam 9 malam, istriku mulai terasa mual serta muntah. Hari ketiga jam 12 malam mulai keluar mimisan dengan darah hitam mengental. Hari keempat jam 8 pagi saat saya memandikan serta bersihkan mulutnya yang terus-terusan keluarkan lendir, ada lendir bercampur darah hitam pekat serta mengental.
Menurut dokter ini yaitu sinyal kankernya telah mulai hancur. Malam harinya istriku tidur sangatlah pulas serta sedikit batuk berdahak seperti hari-hari pada awal mulanya.
Alhamdulillah kemo step pertama usai. Dokter katakan bila keadaan istriku lebih baik jadi tiga hari lagi bisa pulang. Tampak muka cerah istriku saat mendengar berita ini. “nanti jika pulang ingin kemana bun.. ke Sawangan apa ke Kebayoran (rumah ibunya)? ”
“ke Sawangan saja rumah kita sendiri, ” jawabnya lewat secarik kertas. Tetapi nyatanya dua hari lalu ia alami diare yang hebat ini yaitu dampak samping dari obat kemo, hingga kondisinya kembali lemas. Gagasan pulangpun mesti dipending menanti kondisinya lebih baik. Namun semakin hari keadaan istriku semakin drop. Sampai mendekati kemo step ke-2 jadi albumin dalam darahnya alami penurunan.
Sepanjang dirawat istriku meminta supaya saya sendiri yang memandikannya, bahkan juga saya juga yang bersihkan kotorannya. Seluruhnya saya lakukan dengan telaten lantaran saya terasa saat ini waktunya untuk membalas seluruhnya kebaikan yang sudah dikerjakannya kepadaku sampai kini. Saat istriku sehat dialah yang senantiasa merawatku, temaniku serta senantiasa mempersiapkan seluruhnya kebutuhanku.
Sepanjang nyaris sebulan di Rumah Sakit kami terasa temukan keluarga baru. Keakraban terjalin pada kami dengan team dokter, dengan beberapa suster bahkan dengan cleaning service yang setiap hari bersihkan kamar istriku. Saya terasa suka saat satu hari istriku bisa tertawa riang bercanda dengan beberapa suster walau tawanya tanpa ada nada.
Minggu, 4 Mei 2015...
Kemo step ke 2 dikerjakan. Kelihatannya Allah betul-betul menguji kesabaranku. Saat akan dikerjakan kemo, tabung infus 1000cc yang dipakai untuk kombinasi obat kemo nyatanya tak ada. Rumah sakit kehabisan stok, serta ini yaitu suatu kecorobohan yang harusnya tak berlangsung.
Lantaran tentu pihak rumah sakit sudah mengetahui jadwal pelaksaan kemo ini. Dokterpun geram. Lalu Dokter merekomendasikan saya untuk selekasnya beli sendiri tabung infus ditempat lain. Maksud saya yaitu RSCM juga sebagai Rumah sakit paling dekat, tetapi bila menuju RSCM memakai kendaraan bakal mengonsumsi saat lama lantaran jalannya memutar. Sayapun lari ditengah sinar matahari jam 12 siang menuju RSCM. Tetapi di sanapun tak ada, lalu saya lari lagi menuju RS Sant Carolus, di sinipun nihil.
Begitupun saat saya ke Apotik melawai tidak dapat memperolehnya. Pada akhirnya saya memperoleh tabung infus tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat. Pada akhirnya kemo step ke 2 juga bisa dikerjakan.
Senin, 5 Mei 2015...
Hari ini Dinda anak kami yang kecil lagi th. ke 4. Perhatian serta kecintaan istriku pada anaknya tidak pernah menyusut. Dibatas ketidak berdayaannya dia menuliskan suatu hal, “Ayah janganlah lupa beliin hadiah buat Dinda, bapak beliin jaket kelak bunda titip mukena, kasihan mukena dede telah buruk. Katakan ke dede ini mukena dari bunda. ”
Atas keinginan istriku siang itu juga sebagai sinyal sukur kami memotong 2 buah kue lagi th. yang satu diantaranya untuk diberikan ke suster-suster yang jagalah. Lalu istriku minta dibantu turun dari tempat tidur, tuturnya mau duduk bareng deket Dinda. Ia coba memberi senyum bahagia pada Dinda serta menyembunyikan rasa sakitnya. Sesaat Dinda terlihat bahagia dipangku bundanya, mungkin saja ia menduga bundanya cuma sakit umum saja. Lagu “selamat lagi tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku. Merasa pilu saya memandang mereka.
Selasa, 13 Mei 2015...
Umumnya bila istriku inginkan suatu hal ia bakal bangunkan saya dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Tetapi malam itu saya terasa sangatlah ngantuk serta capek, saya menulis pesan pada istriku, “bun.. kelak jika butuh apa-apa panggil suster saja ya! Bapak ngatuk serta cape, janganlah bangunin bapak ya! ” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia menyeka tanganku lalu menuliskan suatu hal “ayah tidur saja gapapa kok, bunda juga ingin istirahat. ”
Rabu, 14 Mei 2015...
Tak tahu kenapa pagi ini saya sangatlah mau merawatnya. Saat ia kembali terserang diare berulang-kali yang sangatlah hebat saya sendiri yang bersihkan seluruhnya. Lalu memandikannya serta ganti bajunya. Pagi itu saya minta Lia anak sulung kami yang masih tetap duduk di kelas 5 SD untuk melindungi bundanya, saat sebelum lalu saya tinggal pergi kerja.
Siang jam 11 Lia menelpon “Ayah, bunda pingsan nafasnya cepet banget. ” Saya kaget serta sangatlah cemas. Selang 15 menit Lia sms “bunda saat ini ada di ruangan ICU”. Astaghfirullah haladziim… apa yang berlangsung pada istriku. Selekasnya saya minta izin meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit saya temui Lia menangis sesegukan tidak berhenti. “bunda yah… tolongin bunda yahh….! ”
Kuhampiri istriku yang tergolek taksadarkan diri. Perawat menempatkan seluruhnya peralatan pada badan istriku, tak tahu alat apa sajakah ini. Kuusap perlahan-lahan keningnya, dingin sekali. Tangan serta kakinyapun sangatlah dingin. Sampai mendekati maghrib saya tidak beranjak dari sebelahnya. Tidak hentinya mulut ini memanjatkan doa. Sesaat diluar ruangan ICU telah banyak kerabat berdatangan.
Desakan darahnya sangatlah rendah di bawah 70. Dokter memberi obat penguat desakan darah dengan dosis tinggi. Desakan darahnya pernah naik tetapi masih tetap dikisaran 75-80, sangatlah rendah. Berulang-kali dokter menyuntikkan obat perangsang tetapi akhirnya terus sama tidak beralih. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tidak menentu, campur aduk pada kuatir, bimbang serta ketakutan yang sangat sangatlah. Sangkaanku benar Dokterpun menyerah.
Lihat kondisinya yang selalu alami penurunan ia merekomendasikan supaya seluruhnya alat bantu dilepaskan saja. “maksudnya dok..? ” saya menodong penjelasan. “secara medis keadaan ibu telah tidak bisa ditolong lagi, tambah baik kita do’akan saja. ” Saya betul-betul lemas mendengarnya semua tubuhku gemetar merinding “benarkah tidak ada lagi harapan. ” Mendadak saya rasakan ketakutan yang luar umum. Saya tidak ingin menyerah, saya meminta supaya seluruhnya alat bantu itu terus terpasang pada badan istriku, sembari menanti ketentuan team dokter besok pagi.
“Aku tidak ingin kehilanganmu bunda. ” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, bapak mau memandang mata bening bunda untuk paling akhir kalinya, ” kubisikan lembut ditelinganya.
Jam 22, saya disodori surat pernyataan, tidak pernah saya baca, kata suster ini yaitu Surat kesepakatan untuk melepas seluruhnya alat bantu dari badan istriku. “Tak mampu saya lakukan ini bun, saya mau terus memandang wajahmu, saya mau terus mendampingimu walau dalam ketidakberdayaanmu. ”
Pada akhirnya adikku yang menandatanganinya. Saya tidak mau senantiasa dihinggapi rasa bersalah bila di tandatangani surat itu. Lalu seluruhnya alat bantu dilepaskan dari badan istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.
“Bun….. inilah yang paling baik yang didapatkan Allah buat kita, maafkan bapak bun bapak tidak dapat melindungi bunda. Bapak ikhlas bunda pergi, bapak terima seluruhnya dengan ihklas bun.. Janganlah cemas bun, bapak bakal melindungi serta menjaga anak-anak kita, ” kubisikan lirih ditelinga istriku.
Kutemui Lia yang menanti di luar ruangan ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia menangis keras sejadi-jadinya, mungkin saja ia memahami apa yang kumaksudkan. “Bundaa….. Lia gak ingin kehilangan bunda, janganlah tinggalin lia bundaa..!! ” Tangisnya memekik, merebut perhatian kebanyakan orang diruang tunggulah ICU ini. Seluruhnya mata memandang kami namun mereka diam seakan mahfum dengan situasi kami.
Dalam tiap-tiap rangkaian doaku tidak pernah saya mengatakan kalimat menyerah “kalo memanglah akan Engkau ambillah jadi mudahkan, ” tidak pernah saya menyebutkan kalimat itu. Saya senantiasa minta kesembuhan, kesembuhan lantaran saya memanglah inginkan istriku betul-betul sembuh.
Kelihatannya saat ini saya mesti menyerah serta pasrah “Ya.. Robb bila memanglah Engkau memastikan jalan lain saya ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul khootimah. ”
Menurut suster dalam keadaan seperti ini pasien masih tetap dapat mendengar. Kubimbing istriku menyebutkan kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH.. ” perlahan-lahan saya menuntunnya. Terasa saya tahu benar tiap-tiap helaan nafasnya, raga kami seperti menyatu. Kuulang sampai berulang-kali dengan helaan nafas yang terirama pelan. Dua bulir bening tersembul dari pojok matanya. Saya rasakan ia mampu ikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..!
Saya terbangun saat mendadak seseorang suster memanggil “Keluarga ibu Siti Nurhayati..! ” Saya bergegas masuk ke ruangan ICU, jam menunjuk Jam 05, masih tetap pagi dengan udara dingin yang menyusup tulang. “Ma’af pak, ibu telah tak ada. ” tutur suster tadi singkat. Walau saya tau tujuannya namun saya masih tetap tidak yakin. Kutengok monitor monitor yang terhubung ketubuh istriku. Tidak ada lagi yang bergerak di sana.
Seperti tersambar petir, kudekap badan lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN. ” Saya lunglai terduduk disebelahnya namun tidak ada lagi air mata yang keluar. “Bun, Bapak ikhlas melepas bunda, Allah sudah memilihkan jalan paling baik buat kita. ”
Selamat Jalan Istriku…… jemput saya serta anak-anak kelak di pintu SurgaNya.
Demikian akhir dari Cerita Sedih Kisah Memilukan Seorang Istri yang begitu memilikan dan semoga kita dapat memetik hikmah dibalik cerita sedih ini dan jangan lupa baca juga Cerita
Sedih Menggugah Hati Hingga Napas ini Habis dan Cerita Sedih Memilukan Cinta di Ujung
Senjata dari kami.

